15 November 2008

seandainya ibukota.... di Indonesia PIndah" jangan di Jakarta...

y bener.. .kalo setiap 5tahun sekali ibukota di Indonesia tercinta pindah... jangan di jakarta truz kan bosen... klo seandainya pindah" setiap 5tahun sekali.... mungkin perekonomian di indonesia dapat berkembang ... n g da.... kemiskinan... serta untuk itu kesejahteraan dapat merata di segala sektor,..,, untuk itu bwt ... para pemimpin tolong dong di pikirin lagi .. .saatnya kita buka mata n jaga pikir rakyat INDONESIA ini bodoh".... mother fucker... makanya sekarang banyak orang golput.. walaupun semua orang aku bukan orang penting di INDOENSIA.... aku cuma ingin ini INDONESIA maju.... \

oy... klo mw comment... di
email:soerja_poetera@yahoo.co.id
testi di FS juga boleh... : soerja_poetera@yahoo.co.id

08 November 2008

laTar BelaKang haRie PahLawan

Latar Belakang Hari Pahlawan

Rabu, 10 Nopember 2004M
25 Ramadhan 1425H

data recovery software
Dating
Ford Focus
Secured Loans
Laura Ashley


Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta 17 Agustus 1945 pasukan Jepang mulai dilucuti oleh tentara nasional dan rakyat. Proses pelucutan ini menimbulkan bentrokan-bentrokan di berbagai daerah yang cukup banyak menimbulkan korban. Inisiatif tersebut juga dilakukan karena pihak sekutu di Indonesia masih belum juga melucuti tentara Jepang.

Pihak sekutu yang telah menjatuhkan bom di kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang juga turut akhirnya turun ke Indonesia untuk melucuti tentara Jepang. 15 September sekutu yang diwakili oleh Inggris mendarat di Jakarta dan 25 Oktober di Surabaya dengan 6.000 serdadu dari Divisi ke-23 dengan pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby. Namun pendaratan sekutu ini didomplengi kepentingan Belanda secara rahasia melalui NICA untuk kembali menguasai Indonesia meskipun sudah memerdekakan dirinya.

Rakyat Indonesia marah mendengar konspirasi tersebut sehingga perlawanan terhadap Inggris dan NICA tetap berlanjut yang memuncak ketika pimpinan sekutu wilayah Jawa Timur Brigadir Jenderal Mallaby terbunuh 30 Oktober di Surabaya.


Inggris dan NICA melalui Mayor Jenderal Mansergh yang menggantikan Mallaby mengultimatum rakyat Indonesia untuk menyerah sampai batas akhir tanggal 10 November pagi hari. Namun di batas ultimatum tersebut rakyat Surabaya menjawabnya dengan meningkatkan perlawanan secara besar-besaran, salah satu pimpinan perlawanan tersebut adalah Sutomo, dikenal sebagai Bung Tomo (yang sampai saat ini belum diangkat secara resmi menjadi Pahlawan Nasional, hanya menerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama pada tahun 1995 oleh presiden Suharto).

Perang tersebut melibatkan pasukan sekutu dengan 30.000 serdadu (26.000 didatangkan dari Divisi ke-5 dengan dilengkapi 24 tank Sherman) dan 50 pesawat tempur dan beberapa kapal perang. Inggris menduga 3 hari Surabaya bisa ditaklukan namun kenyataannya memakan satu bulan sampai akhirnya Surabaya kembali jatuh ke tangan sekutu dan NICA.

Perang ini menimbulkan perlawanan lain di semua kota seperti Jakarta, Bogor, Bandung sampai dengan aksi membakar kota 24 Maret 1946 dan Mohammad Toha meledakkan gudang amunisi Belanda, Palagan Ambarawa, Medan, Brastagi, Bangka dll. Perlawanan ini terus berlanjut baik dengan senjata maupun dengan negosiasi para pimpinan negeri seperti perjanjian Linggajati di Kuningan, perjanjian di atas kapal Renville, perjanjian Roem-Royen sampai akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda pada tahun 1949.

Empat tahun revolusi yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, hingga akhirnya momen 10 November dijadikan Hari Pahlawan. Dari fakta sejarah di atas bisa kita simpulkan bahwa ancaman pertama kemerdekaan Indonesia bukan hanya Belanda ingin menguasai kembali, namun sekutu yang dipimpin Amerika memiliki kepentingan tersendiri di Indonesia.

sEbeluM 10 NoveMber.... untUk SoeraBaja Koe

Hiruk pikuk menjelang hari pahlawan pada tanggal 10 November 2008 seolah-olah tenggelam oleh ulasan fenomena Obama. Dari beberapa surat kabar yang saya lihat di headline hanya kecil sekali yang mengupas seputar kisah-kisah atau kilas balik para pahlawan. Melihat kecenderungan ini seolah-olah media sudah bosan mengupas nama besar dan kisah-kisah heroik para pahlawan. Tanggung jawab itu seolah dibebankan semuanya di dunia pendidikan. Minimnya kreatifitas dalam mengajarkan nilai-nilai kepahlawanan seolah menjadi titik nadir dalam perjalanan bangsa ini. Padahal presiden pertama RI Ir. Soekarno jauh-jauh hari sudah mengeluarkan slogan “jas merah” (jangan sekali-kali melupakan sejarah).

Rasa kepedulian yang sangat kecil dari kelompok masyarakat seolah menjadi jawaban bahwa tidak ada keuntungan baik moril maupun materil jika mengenal para pahlawan. Pahlawan hanya dijadikan alat untuk mendapatkan nilai dan menjadi dongeng pengantar tidur. Sikap tidak merasa memiliki ini bisa jadi bukan melulu kesalahan masyarakat, bisa jadi bukan kesalahan para pahlawan, semua itu berawal dari system yang pada akhirnya membuat masyarakat kehilangan kebanggaannya terhadap para pahlawan. Pelajaran dan penyajian yang hanya mengedepankan ranah kognitif bisa jadi salah satu penyebabnya. Kita sudah lama dijejali oleh tanggal-tanggal dan nama-nama tokoh tanpa dijelaskan hakikat dari mempelajari sejarah itu sendiri.

Lihat saja perayaan hari besar lainnya. Semuanya seolah-olah merasa sudah cukup dengan sekedar melaksanakan upacara bendera dan mengeheningkan cipta. Kita perlu langkah lain yang dapat membelajarkan bangsa ini untuk lebih mengenal dan bangga sebagai bagian dari anak bangsa Indonesia yang memiliki para pahlawan dan pejuang besar untuk merebut kemerdekaan. Menghasilkan sikap positif ini akan menjadi titik tolak dalam mengembangkan mental juang anak bangsa untuk bangkit sejajar dengan bangsa lain. Mengenal pahlawan bisa dilakukan dengan berbagai cara secara terintegrasi akan menghasilkan persepsi positif bagi siswa. Menulis puisi, riset di perpustakaan, bermain peran, mengadakan minggu pahlawan, hari pahlawan, jika aku menjadi…, atau inovasi dan kreativitas lain akan menjadi momentum indah dan cara yang mudah diingat bahkan akan menjadikan para pahlawan itu sebagai panutan dalam memperjuangkan hidupnya di masa yang akan datang.

Sampai saat ini belum ada jawaban mengapa hanya dengan mengandalkan senjata tua, senjata tradisional, dan bambu runcing mampu mengalahkan Belanda dan Jepang. Saat ini, dengan senjata yang jauh lebih modern dan jumlah yang banyak martabat kita direndahkan dan tidak dihargai oleh Negara lain. Kedaulatan di darat, kedaulatan di laut, kedaulatan di udara begitu mudahnya ditembus dan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Betapa banyak kapal ikan asing yang menyedot ikan dan kekayaan laut lainnya dapat dengan tenang melempar sauh di wilayah laut kita. Pesawat tempur kita bahkan tidak berdaya mencegat pesawat tempur asing yang memasuki wilayah udara Indonesia. Di darat, para penjahat dari mulai penjahat jalanan sampai para penjahat kakap bebas berkeliaran menyakiti rakyat kecil yang kelaparan dan hidup dalam ketidakberdayaan.

Dalam kondisi seperti ini siapakah yang bisa kita dijadikan panutan? Kepada siapakah kita harus mencari perlindungan dan keadilan?

Semakin banyak anak bangsa ini yang kehilangan identitas nasionalismenya. Semakin banyak anak bangsa ini kehilangan kebanggaannya sebagai orang Indonesia. Mereka lebih mengenal budaya dan kehebatan bangsa asing dibandingkan dengan budaya dan kebesaran bangsa sendiri. Bagaimana tidak, stiap hari yang mereka tonton, yang mereka tiru, yang mereka pakai, ingat adalah produk-produk asing. Minum, makan, berpakaian,perlengkapan rumah, bahkan perlengkapan sekolah pun didominasi oleh produk asing.

Kebanggaan akan kehebatan masa lalu hanyalan imajinasi yang sulit digapai oleh ketiadaan sumber dan media yang membuktikannya. Pendekatan ilmiah seolah mengaburkan sisi-sisi pendekatan sederhana yang harus disampaikan dan dikembangkan sejak dini. Jika saya bertanya kepada murid-murid pahlawan yang ada di daerah asal mereka, anak-anak hanya bisa menyebutkan satu dua orang saja bahkan banyak diantara mereka tidak bisa menyebutkan pahlawan-pahlawan yang ada di daerah asalnya. Apakah pahlawan lokal di berbagai wilayah Indonesia tidak layak dijadikan pahlawan? Saya tidak yakin anak-anak akan mengenal mereka jika tidak dijadikan nama jalan.

Kenyataan di atas adalah salah satu contoh titik lemah dalam mengenalkan para pahlawan di Indonesia. Langkah yang harus kita lakukan adalah bagaimana melakukan kreatifitas dan kebijakan lokal untuk memperkenalkan para pahlawannya. Era otonomi daerah harusnya sudah dapat menjangkau sisi-sisi sejarahnya. Kebesaran suatu daerah jangan hanya diukur oleh jumlah bangunan megah, jumlah pusat belanja, dan aneka tempat wisata. Apresisasi terhadap para pahlawan adalah salah satu cara menunjukkan kebesaran suatu daerah.

Sudah waktunya setiap daerah memberikan penghargaan kepada orang-orang yang berjasa di daerahnya masing-masing. Mungkin penghargaan itu bukan uang, sertifikat, atau publikasi. Penghargaan itu bisa juga berupa pengakuan akan prestasi dan karya dirinya bagi kemaslahatan umat manusia baik dalam skala lokal maupun internasional.

Terima kasih para pahlawan yang telah berjuang menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang besar.

*) Penulis Guru SMP Negeri 3 Bogor

www.sopyanmk.wordpress.com